Serikat Pekerja Pertamina Hulu Mahakam (SP PHM)
>>> AYO KITA DUKUNG PRL ALIGNMENT YANG PROPORSIONAL & BERKEADILAN<<<

Oleh : Suharyono Soemarwoto.,MM

(Pemerhati Ketenagakerjaan & Ekonomi Kerakyatan, Mahasiswa S3 Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti)

Email : harysmwt@gmail.com, www.webkita.net

 

     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksudh ethos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Kerja dalam arti pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi, intelektual dan fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan maupun keakhiratan. Dari asal bahasaYunani, ethos berarti sikap, kepribadian, watak, serta keyakinan atas sesuatu. Di dalam ethos terdapat spirit, gairah, semangat yang kuat untuk mengerjakan sesuatu secara maksimal untuk mencapai nilai mutu kerja yang sesempurna mungkin. Maknanya pun telah mengalalami pengayaan dan berkembang menjadi suatu aturan umum/cara hidup, tatanan aturan perilaku maupun jalan hidup. Proses pembentukannya pun melalui berbagai kebiasaan, pendidika,  pengaruh budaya, serta sistem nilai/agama yang diyakininya. Dalam kaitan ini, Ethos kerja berbudaya K3 merupakan serangkaian spirit dan semangat kerja yang dijiwai nilai-nilai keselamatan dan kesehatan kerja agar tetap produktif dalam kondisi sehat wal afiat dan selamat lahir dan batin.

     Dimensi Aku

     Ethos kerja terkait dimensi keakuan ditinjau dari ma’rifat- Aku Tahu yakni tahu siapa aku, apa kekuatan dan kelemahanku, tahu apa pekerjaanku,tahu siapa pesaingku dan kawanku, tahu produk yang akan dihasilkan, tahu apa bidang usahaku dan tujuanku, tahu siapa relasiku,maupun tahu pesan-pesan yang akan kusampaikan. Dari dimensi hakikat – Aku Berharap yakni sikap diri untuk menetapkan sebuah tujuan kemana arah tindakan dilangkahkan, diawalai dengan niat atau dorongan untuk menetapkan cita-cita merupakan ciri bahwa dirinya hidup. Dan dari dimensi syariat- Aku Berbuat yakni pengetahuan tentang peran dan potensi diri, tujuan serta harapan-harapan hendaklah mempunyai arti kecuali bila dipraktikkan dalam bentuk tindakan nyata yang telah diyakini kebenarannya. Dari dimensi aku inilah akan tercermin kadar dari ethos kerja masing-masing baik menyangkut moralitas/keikhlasan, konsistensi, efeketifitas penggunaan waktu menuju terwujudnya ethos kerja profesional ; yang bertumpu pada pemahaman kerja sebagai rahmat (Aku bekerja tulus penuh rasa syukur), ibadah (Aku bekerja serius penuh kecintaan) , amanah (Aku bekerja penuh tanggung jawab), panggilan (Aku bekerja tuntas penuh integritas), aktualisasi (Aku bekerja keras penuh semangat),), seni (Aku bekerja cerdas penuh kreativitas). kehormatan (Aku bekerja penuh ketekunan dan keunggulan) dan pelayanan (Aku bekerja paripurna penuh kerendahan hati). Ini semua dipengaruhi oleh agama, motivasi, budaya, kondisi lingkungan/geografis, pendidikan, tingkat ekonomi dan lain-lain.

     Management By Objectives (MBO)

     MBO merupakan management modern yang berorientasi pada tujuan dan mengharuskan pekerja dan atasaannya menyepakati obyektif-obyektif/target yang akan dicapai sejalan dengan obyektif/target perusahaan. Seperangkat obyektif ini yang dijadikan parameter untuk penilaian. Namun sangat disayangkan masih banyak dijumpai adanya penilaian yang dilakukan hanya menuruti selera atasannya, seolah ngasal hanya mengikuti ambisi pribadinya ; terlebih jika boroknya diketahui oleh bawahannya. Mereka akan jurus mabuk membunuh karakter dan akan mengikis habis karirnya. Na’udzubillah.. Ironinya, ada atasan yang mau menilai baik anggotanya asalkan  anggotanya itu mau meninggalkan aktivitasnya sebagai pengurus/aktivis SP, padahal selama ini para atasan juga ikut kenyang, menikmati hasil-hasil perjuangan SP. Masih banyak perilaku diskrimantif dan intimidatif dari perusahaan dan oknum-oknumnya kepada pengurus dan aktivis serikat pekerja (SP). Sikap arogansi, intimidatif ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 maupun UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh Nomor 21 Tahun 2000. Ke depan harus didorong agar pekerja mau dan berani mendirikan SP/SB yang menjadi haknya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 104 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2013. Isinya antara lain, SP/SB berfungsi sebagai sarana hubungan industrial maupun menjadi tameng dalam memperjuangkan kepentingannya.     Sementara itu, secara nasional jumlah SP/SB masih sekitar 2% (dua persen), padahal idealnya sekurang-kurangnya sama dengan jumlah perusahaan, minimal satu SP di setiap perusahaan. Saat ini jumlah SP/SB baru mencapai 7.000-an atau 2 persen dari 368.000-an perusahaan yang tercatat di Kementerian Keuangan. Fenomena ini terjadi salah satu di antaranya akibat dari arogansi pengusaha terhadap buruh/pekerja yang berniat untuk berorganisasi. Pemerintah diharapkan mendorong lebih keras lagi agar para buruh/pekerja memiliki spirit kuat untuk mendirikan SP/SB di perusahaannya masing-masing. Sementara itu, jumlah buruh/pekerja yang berserikat baru sekitar 2,71 juta orang. Padahal di negara maju, union mempunyai daya dukung dan daya dobrak yang kuat untuk memperjuangkan kepentingannya, terutama saat mendapat ketidakadilan.

    Kemudian, menyangkut evaluasi kinerja bagi perorangan harus bertumpu pada obyektif yang ditentukan diawal tahun dan harus mengikuti berdasar ranking (peringkat), bukan mrngikuti distribusi normal. Paradigma sistem lonceng (distribusi normal) harus ditinggalkan sejauh-jauhnya karena menyisakan korban-korban pada 5-10% distribusi sebelah kiri, yang menjadi tumbal untuk dikorbankan. Evaluasi yang fair play, memenuhi rasa keadilan berdasarkan peringkat akan memotivasi pekerja untuk lebih giat lagi dalam mencapai tujuan perusahaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof.Dr.Zulkifli Husein Guru Besar FEB Universitas Trisakti menyangkut pentingnya tenaga kerja sebagai faktor utama dalam proses produksi suatu perusahaan maupun investasi jangka panjang ketenagakerjaan. Evaluasi yang obyektif, juga akan mencegah terjadinya demotivation. Jangan sampai pekerja menjadi Klub 805 sebagaimana disampaikan oleh Massa Manik – Dirut Pertamina. Klub ini terkesan bekerja ala kadarnya, datang jam 8, hasil 0 dan pulang jam 5. Menurut hemat kami, salah satu sebabnya adalah faktor pembinaan SDM yang kurang komprehensif, sehingga ke depan diperlukan terobosan lain misalnya mapping, menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki setiap pekerja dan meningkatkannya dalam posisi yang lebih baik dan menantang ; terlebih banyak pekerja yang melanjutkan studi secara mandiri guna meningkatkan kualitas dan kapasitas dirinya. Ini sangat penting, agar mereka tidak melakukan eksodus ke perusahaan-perusahaan lain, apalagi harga minyak dunia sudah naik, kompetisi akan semakin tinggi. Disamping itu, perlu ada pelatihan-pelatihan yang berbasis sertifikasi yang berlaku internasional, dibarengi tour of duty sesuai aspirasi dan keingingan pekerja untuk mendapatkan the right man on the right place. Pembinaan dan pengembangan karir pun harus pro-pekerja dan fair untuk  semua lini organisasi, baik karir struktural maupun karir fungsional (spesialis/expertist). Sistem pembinaannya pun harus menjamin kesetaraan jalur karir ; mengingat pada umumnya karir fungsional tidak menantang, tidak prospektif dan cenderung pendapatannya berbeda/lebih kecil dibanding karir struktural. Inilah tantangan bagi Direktur/Manager SDM dan timnya untuk benar-benar hadir menjadi  pemberi solusi jitu untuk mengembang dua jalur karir ini, agar etos kerja dan produktivitasnya meningkat.

     Budaya K3

     Budaya K3 akan dapat diwujudkan salah satunya membudayakan Nilai-nila K3 melalui Bulan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) secara Nasional. Tahun ini telah dicanangkan oleh Menaker – M. Hanif Dhakiri pada 12 januari 2018 di Surabaya; merupakan tahun keempat bagi bangsa Indonesia yang secara terus menerus berjuang, berperan aktif dan bekerja secara kolektif dalam mewujudkan “Kemandirian Masyarakat Indonesia Berbudaya K3 Tahun 2020”.  Sedangkan tema pokok Bulan K3 Tahun 2018 adalah Melalui Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Kita Bentuk Bangsa yang Berkarakter. Bulan K3,  tahun ini akan berlangsung dari tanggal 12 Januari sampai dengan 12 Februari 2018, dengan harapan semua pemangku kepentingan dengan cepat dapat memiliki Budaya K3 melalui penerapanan SMK3 (Sistem Manajemen K3) secara efektif dan efisien sesuai UU Keselamatan Kerja No.1/1970, UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003, maupun Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2012. Budaya K3 perlu kita miliki melalui berbagai upaya nyata untuk mencegah, atau setidaknya mengurangi terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat kerja secara maksimal sehingga tidak terjadi fatalitas maupun kerugian besar.

     Ke depan kita harus bekerja keras, mengingat masih terjadi kasus-kasus kecelakanan kerja di tahun-tahun sebelumnya. Data dari BPJS Ketenagakerjaan tahun 2015 telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 110.285 kasus, sedangkan tahun 2016 sejumlah 105.182 kasus, sehingga mengalami penurunan sebanyak 4,6%.  Sedangkan sampai Bulan Agustus tahun 2017 terdapat sebanyak 80.392 kasus.  Salah satu penyebab kecelakaan kerja tersebut adalah belum optimalnya pengawasan dan pelaksanaan K3 serta perilaku K3 di tempat kerja. Sementara itu effort Kemnaker pada 2017 sungguh sangat besar antara lain telah melakukan uapaya pengutanan terhadap nenerapan K3 antara lain : menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan dan standar di bidang K3; meningkatkan jumlah pengawas spesialis bidang K3; meningkatkan peran serta masyarakat melalui lembaga K3 dan pemeduli K3; meningkatkan kesadaran tenaga kerja dan masyarakat melalui peningkatan jumlah personil K3; meningkatkan perusahaan yang mendapatkan penghargaan K3; peran serta Indonesia dalam forum-forum ASEAN, regional dan internasional bidang K3; dan pembentukan Unit Reaksi Cepat Pengawas Ketenagakerjaan.

      Dalam melaksanakan peringatan bulan K3 telah diatur dalam Kepmenaker No 386/ 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bulan K3 Tahun 2015-2019. Adapun tema pokok tahunan Bulan K3 tahun ini adalah ”Melalui Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Mendorong Terbentuknya Bangsa yang Berkarakter”, kemudian di tahun depan ”Wujudkan Kemandirian Masyarakat Indonesia Berbudaya Keselamtan dan Kesehatan Kerja (K3) Untuk Mendukung Stabilitas Ekonomi Nasional”. Kegiatan yang telah dilakukan berupa Kegiatan yang bersifat Strategis seperti Perencanaan Bulan K3 Nasional; Apel bendera Bulan K3 Nasional (dilaksanakan pada bulan januari, untuk tanggal disesuaikan dengan kondisi masing-masing); Pemberian penghargaan K3; Konvensi/Seminar/Lokakarya/Semiloka; Pembentukan Komite Investigasi Kecelakaan kerja; dan lain-lain. Kegiatan yang bersifat promosi, seperti : pemasangan bendera, umbul-umbul, spanduk, dan baliho K3; Pameran K3; Sosialisasi dan publikasi K3;  Aksi sosial K3; Cerdas cermat K3; dan lain-lain. KKegiatan yang bersifat Implementatif, seperti : Penilaian penghargaan K3; Audit SMK3; Pembinaan dan Pengujian lisensi K3; Pemeriksaan dan atau pengujian objek K3; Penanganan kasus-kasus kecelakaan kerja; Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja; Pengukuran dan pengujian lingkungan kerja’Operasi tertib di Bidang K3 ; dan lain-lain.

     Karakter Bangsa

   Bulan K3 sebagai gerakan nasional akan terus didorong untuk menjadi Gerakan Hari-Hari K3 (GH2K3) sehingga akan benar-benar membudaya dan menjadi karakter bangsa Indonesia. Intinya adalah kepedulian terhadap K3, yang dimulai dari peduli kepada diri sendiri, orang lain dan kita semua. Dimulai dari diri pribadi masing-masing; baik dari pimpinan puncak sampai dengan pekerja garda terdepan dalam perusahaan. Penghargaan pun perlu dilakukan sebagai bentuk apresiasi dan dorongan, misalnya kemnaker telah memberikan  Penghargaan K3 untuk kategori Pembina K3, kategori Zero Accident (Nihil Kecelakaan Kerja), SMK3, Program Pencegahan dan Penaggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja, dan Pemerhati P2 HIV/AIDS di Tempat Kerja. Dan ke depan, diperlukan juga penghargaan untuk pekerja yang berprestasi di bidang K3 dan serikat pekerja yang berjasa dalam pembudayaan K3 di tempat kerja; termasuk menjadikan obyektif K3 dalam target tahunannya. Dengan demikian ethos kerja berbudaya K3 dapat diwujudkan oleh semua pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja, dan secara simultan dapat meningkatkan produktivitas, keberlanjutan usaha maupun mewujud karakter bangsa Indonesia. Semoga.